Seorang remaja dalam fajar
kehidupan duduk diatas mejanya disebuah rumah sepi. Ditatapnya
pemandangan luar lewat kaca jendela kamarnya, di luar langit ditaburin
bintang gemintang yang gemerlapan, hingar bingar warna menyala, kemudian
ia balik memandang lukisan seorang perawan, yang ia pegang di
tangannya. Gadis dan warnanya adalah jasa dari seorang guru, terefleksi
dalam pikiran anak muda dan lukisan itu membukakan padanya rahasia Dunia
dan misteri Keabadian.
Lukisan
perempuan itu memanggil sang remaja, dan dalam sekejap matanya terpaut
ke telinga gambar tadi, sehingga dia mengerti bahwa bahasa jiwalah yang
kini bermain diseluruh sudut ruangan sampai hatinya menjadi layu dengan
cinta.
Demikianlah detik demi
detik berlalu seolah hanya suatu peristiwa dari mimpi yang terindah,
atau hanya satu tahun dalam kehidupan Abadi.
Lalu
sang remaja itu menyimpan lukisan itu dihadapannya, kemudian mengambil
penanya, dan menuangkan perasaan hatinya diatas perkamen :
"Kekasih
tambatan hatiku! Kebenaran Agung telah mentransendensikan Alam yang tak
berlalu dari satu wujud ke wujud yang lain melalui bahasa manusia.
Kebenaran memilih kebisuan sebagai jalan termudah untuk menyampaikan
sebuah makna bagi hati yang penuh cinta.
Aku
tau bahwa kebisuan malam adalah utusan yang paling berjasa diantara dua
hati, karena dia mengemban pesan Cinta dan membawakan mazbur dua hati
kita. Sebagaimana Tuhan membuat jiwa-jiwa kita sebagai tawanan bagi
tubuh kita, demikian pula Cinta membuatku sebagai tawanan dari kata-kata
dan bahasa.
Mereka berkata, Oh
Kekasihku, Cinta adalah bara api yang melalap hati manusia. Aku teringat
suatu awal kali berjumpa denganmu, lalu kau kukenal selama
bertahun-tahun lamanya, dan aku teringat walau perpisahan akan tiba,
karena perpisahan tak akan sanggup memisahkan cinta kita.
Pandangan
pertamaku bukannya kebenaran pertama. Waktu dimana hati kita bertemu
telah menguatkan akan kepercayaan pada keabadian dan kekekalan Jiwa.
Saat
Alam Semesta menggangkat terudung dari dia yang percaya pada
ketertindasan dirinya, dan menuturkan kepadanya keadilan abadi.
Apakah
kamu ingat saat di tepi aliran sungai, kita duduk dan saling memandang,
Kekasih ? Apakah kau sadar, saat itu mata mu bercakap padaku bahwa
cinta yang kau jalin bersamaku tidak lahir dari rasa iba akan kerendahan
diriku namun berasal dari keadilan? Dan sekarang aku dapat mensabdakan
pada diriku dan pada dunia bahwa pemberian yang berasal dari keadilan
sang kekasih jauh lebih agung dari semua pemberian yang berasal dari
sumber derma.
Dan aku dapat mengatakan juga Cinta yang merupakan anak-anak kesempatan adalah laksana air busuk dirawa-rawa.
Kekasih, sebelum aku
membentangkan sebuah kehidupan yang dapat aku bungkus dalam keagungan
dan keindahan sebuah kehidupan yang bermula dari pertemuan pertama kita,
dan berakhir dengan keabdian.
Karena
aku yakin bahwa ia ada dalam dirimu untuk membawa kekuatan yang tuhan
berikan padaku, untuk di wujudkan dalam kata-kata dan tingkah laku yang
mulia, bahkan seolah matahari yang membawa kehidupan bagi
kembang-kembang yang semerbak mewangi di taman.
Demikianlah, cintaku padamu akan terus bersemi, Abadi selamanya".
Sang
remaja itu bangkit lalu berjalan pelan-pelan penuh hormat melewati
ruangan. Kali ini ia kembali melayangkan pandangan matanya melalui kaca
jendela cahaya bulan purnama yang muncul diatas Cakrawala dan menghiasi
langit luas dengan cahayanya yang lembut.
Kemudian ia kembali kemejanya dan menulis dan menulis :
"Maafkan
aku, kekasihku, karena aku berbicara padamu dalam orang kedua. Karena
engkau adalah diriku yang lain, Cantik. Kau lah belahan jiwa, yang tak
pernah aku miliki sejak aku dilahirkan oleh tangan rahasia Tuhan.
Maafkan aku Kekasihku".
Post a Comment
Silahkan Berkomentar